Senin, 22 Desember 2008

Arti Senyuman (HFI)

Kisah di bawah ini adalah kisah dari milis himpunan fisika indonesia (HFI), dari salah seorang alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana . Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, direnungkan seumur hidup, agar kita semua tidak hanya layak secara intelektual tetapi juga karakter.
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" kearah saya.
Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu.Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai didepan counter.Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka.. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.
"Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya." Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian." Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.
Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-2ku! " Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami.
Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum.
Sebelum beranjakmeninggalka n restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya.
Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya.
"Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu:"PENERIMAAN TANPA SYARAT."Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!
Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu.Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu.
Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu!Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak!Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya!Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka,tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu kedalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.Orang-orang muda yang 'cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang 'cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri..

aKhwAt SpOrTy ZoNe: Katanya.. (Celoteh Part 2)

aKhwAt SpOrTy ZoNe: Katanya.. (Celoteh Part 2)

SERPIHAN KASIH (Mesa Lindari, 3 IPA 2)

Matahari merangkak tinggi. Payung kegelapan sudah terkuak dengan datangnya pagi. Langit biru yang membentang indah tetap setia menjadi pasangan dataran kehidupan. Angan asa membeliakkan pikiranku pada peristiwa sore kemarin. Kerongkonganku sulit menelan air ludah, sewaktu nama Abak yang disebut-sebut Depi, langsung muncul di depan mata.
Sarah...mana Abakmu yang juragan itu? Sudah hampir dua tahun engkau kuliah di sini, tidak pernah satu kali pun aku melihat dia menengokmu. Sesekali ingin juga aku mencandainya.”
Perkataan Depi kujawab hanya dengan seulas senyum, karena memang tidak mungkin hal itu terjadi. Meskipun kata orang aku anak seorang juragan pemborong di nagari Padang - Pariaman. Tapi tetap saja hidupku tak semanis hidup kawan-kawan setempat tinggal denganku. Rini saja yang ayahnya petani di nagari Andaleh, Payakumbuh, hampir setiap bulan Ayah dan Ibunya membawakan hasil-hasil pertanian untuk keperluan anaknya sehari-hari. Meskipun pakaian ayah Rini sangat bertolak belakang dengan pakaian Abak, namun di saat akan kembali pulang ke Payakumbuh, ayahnya tak segan-segan untuk menguakkan dompet mengambil uang sepuluh ribuan beberapa lembar. Tapi, bagaimana denganku? Dengan keadaanku? Yang seorang anak juragan. Untuk mendapat uang sepuluh ribu sajasulitnya minta ampun. Belanjaku saja tidak sepadan dengan statusku sebagai anak orang kaya. Barangkali tak ada yang percaya bahwa aku harus mengirit uang lima puluh ribuan yang diberikan Abak untuk keperluan satu bulan.
Seumur-umur belum pernah satu kali pun Abak menanyakan apakah aku sehat? Butuh uang? Atau pertanyaan lainnya yang dapat membuat hatiku cukup senang?

Sar...Sarah...sepertinya itu mobil Abakmu bukan? Aduh gila... Abakmu Sar, dia benar-benar datang. Bertambah tampan saja dia.” Tampak dari kejauhan sedan vw merah berjalan pelan dengan seorang pengendara yang melihat-lihat setiap rumah yang dilaluinya.
“Tak tahukan dia rumah kos-mu Sar? “ Lamunanku koyak sejenak mendengar perkataan Depi yang sedari tadi kuacuhkan. Urat-urat sarafku memaksakan jantung untuk memompa darah lebih cepat. Hatiku bak didatangi seorang raja. Raja yang selama ini aku tunggu. Yang selama ini aku rindukan kasih sayangnya, dan kini telah berada di depan mata. Itu memang H.Dt.Sarian. Siapa yang tidak kenal dia? Hatiku melonjak perintahkan mulut tuk teriak,
“Bak...Abak, mau kemana Bak?”
“Eh...supiak...disini kau tinggal? ”
Tanpa turun dari mobil dengan gaya yang sangat dingin seorang laki-laki tajir dikombinasikan jas putih dan dirangkai dengan dasi berwarna hati ayam. Sepuntung pipa rokok dan tak kalah ketinggalan kaca mata coklat tua yang memberikan aroma mewah di zaman tahun 80-an. “Ndak masuk dulu, Bak? “
“Ah...tidak usahlah, masih banyak keperluan. Oh iya Abak pergi dulu. “
Pikiranku berkelabat untuk bertanya dalam hati. “Tidaklah dia hendak membesukku? “ Kucoba hentikan Abak. “Bak...Abak tidak mengasih Sarah uang? Sarah sudah kehabisan uang, Bak. “
Renggutku mencoba manja.
Tanpa basa-basi abak mengeluarkan tiga lembar uang ribua. Aku tidak bisa menerka berapa banyak uang abak, dengan melihat ketebalan dompetnya. Sungguh menyusut kalbuku disaat Abak memberikan uang tiga ribu rupiah. Astagfirullah.... Benarkah ini? Bayangan kembali menjemput kejadian disaat Rini yang diberikan uang puluhan ribu oleh orang tuanya yang petani. Malu bercampur sedih membuatku tuk membungkam. Tak lagi berontak, berusaha menerima dan mencoba mengerti watak Abak.
Hatiku merintih, tapi inilah realita yang sudah kuterima semenjak usiaku beranjak belia. Ya .... semenjak kejadian itu. Semenjak wanita itu merebut Abakku.
* * *
Kokok ayam terdengar disela-sela dentang jam yang berbunyi tiga kali. Malam ini aku baru saja menyelesaikan beberapa tugas yang akan dikumpulkan pada saat jam kuliah nanti. Kulirik jam tua di sudut meja belajar dekat rak buku-buku. Harta satu-satunya yang kumiliki, hadiah pemberian Abak disaat ulang tahunku yang ke-5. Akhir dari kebahagiaanku, karena beberapa hari setelah itu Abak bercerai dengan emak.
Tanganku masih menengadah meminta banyak hal pada Dia. Kebaikan, kekuatan iman, kejernihan hati, kesabaran, ketepatan lisan, kesehatan, bagiku, bagi orang tuaku. Dadaku berdesir. Kaum muslimin. Rezeki yang cukup. Ampunan. Rahmat dan hidayahnya. Semua .... usai sholat, ketika kulipat mukena, baru kusadari satu hal, “ Aku lupa meminta kehidupan yang baik dan diridhoiNya.”
* * *
Ya...aku harus bisa. Aku mampu melakukannya. Toh ini tidak berdosa. Aku kan anaknya. Apa salahnya aku melakukan hal ini? Aku berhak ...., karena aku juga anaknya.”
“Syukurlah akhirnya aku berhasil. Tuhan... jangan anggap hal ini sebagai kejahatan. Hamba tidak ambil banyak. Cuma bahan-bahan masak untuk keperluan sebulan. Namun yang hamba lakukan ini tidak akan mengurangi harta mereka. Hamba juga punya hak.”
Kejadian seperti ini sudah yang kelima kalinya aku lakukan. Di saat indahnya mimpi warnai seisi rumah. Haruskah aku dipermalukan kembali sebagai peminta-minta? Di rumah ini oleh ibu tiriku. Tidak... inilah cara yang paling tepat, menurutku.
Piak... kamu urus saja semua beasiswa di tempat kuliah mu itu. Surat miskin yang kamu minta sudah selesai.” Sambil memberikan selembar kerta bertuliskan “Surat Keterangan Miskin”.
Tiba-tiba Ibu Rapiah istri kedua Abak menyela dengan segera, “Apa tidak malu kalau diberi surat miskin? ” Dengan enteng Abak menjawab, “Ah...tidak apa-apa, Ibunya Sarah kan berbeda dengan anak kita.”
Perkataan Abak sungguh sulit kulupakan. Entah apa sebabnya Abak begitu aneh kepadaku. Bahkan mungkin bisa dikatakan Abak banyak berubah.
* * *
“Pencuri kau Sara... Berani-beraninya kau melakukan hal itu di rumah Abak kau sndiri. Bukankah dia memberimu belanja tiap bulan? Kalau kau mau meminta sesuatu, minta saja terus terang. Apa kau di suruh emak kau yang menjual beras itu? Hal ini yang selalu kau perbuat bila kau datang ke sini. Sungguh memalukan. Darah siapa yang mengalir di tubuhmu? Sehingga menghasilkan keturunan yang sangat menjijikkan tingkah lakunya seperti engkau.”
Berbagai umpatang ia torehkan dalam hatiku. Tak dapat kudengar semua kata-kata istri muda itu. Terlalu menyakitkan bagiku. Emak? Kenapa dia harus menyalahkan emak? Luka hatiku digoresnya lebih dalam mencincang-cincang hulu nadiku. Larutan cuka menambah pedih dan kedukaan yang sangat memilu. Abak...? kenapa dia diam? Apa dia senang melihat aku dimarahi dan dipermalukan? Tidakkah tersisa secuil perasaan sayang dalammendengarkan rintihan jiwaku? Berontak. Tak mungkin pernah bisa aku melakukannya. Kepalaku terasa memikul seratus ton beban, terlalu berat. “Ya... Tuhan kuatkan hambaMu.” Disaat hentakan batin bergejolak setelah mendengar Ibu Rapiah berkata, “Jangan lagi pernah kau injak rumah ini! Sudah muak aku melihat wajah pencuri yang nantinya bisa saja menular pada anak-anakku yang masih kecil. Tinggalkan rumah ini segera. Adukan semua ini pada emakmu.”
Tidak kuat hatiku menahan dan menahan. Racun itu sudah sampai ke sembilu hatiku. Segera kutinggalkan rumah megah itu, tanpa beralaskan kaki dan membawa barang-barangku. Lagi- lagi aku lihat Abak yang hanya seperti patung terdiam dalam kebisuan. Menapaki halaman rumah yang tak lagi megah dan indah. Rumah itu lebih menyerupai gerombolan makhluk-makhluk ganas yang segera menerkamku. Sempatku menoleh ke belakang berhenti melihat reaksi Abak untukku. Namun gambaran muram lain membuatku semakin meronta, menghentakkan kaki tuk berlari meninggalkan rumah kejam itu.
Kupacu langkahku keluar dari pagar tinggi menuju jalan raya lintas Padang-Pariaman. Tanpa tahu tujuan hendak kemana dan dimana aku hempaskan kepiluan hati.
Ternyata Tuhan lebih memilihkan terbaik untukku, karena di rumah emak sama saja dengan memberikan jiwaku pada seorang Bapak tiri yang lebih mengerikan lagi, dan sangat sring menggodaiku. Tempat abadi yang ipilihkan Allah mungkin lebih tepat untukku. Benturan kecelakaan itu sungguh membuatku tak berdaya. Tempat ini lebih terasa nyaman di saat semua sisi permasalahan sirna sejenak.
Sempat kumendengar teriakan sorang lelaki dan pekikan wanita menyebut namaku. Bayang-bayang semu menuju ke arahku. Aku merasa skenario baru menghantarkanku ke tempat tidur yang sangat panjang. Tempat peristirahatan yang kutemukan setelah mobil Patas Padang yang sedang memacu kecepatan dan menabrakku. Darah segar serasa mengalir ringan dari sekujur sendi tubuhku. Tulang-tulangku remuk. Namun hatiku yang berkecamuk terasa hilang.
Di sela keramahan orang kulihat dan kupastikan wajah Abak yang meneteskan air mata pertamanya untukku, anak wanita semata wayangnya. Yang teramat sangat merindukan kasih sayangnya. Kucoba bentuk seuntai senyuman. Meskipun luka yang menyembur di sekujur tubuhku. Tapi tak apa. Aku telah mendapatkan air mata Abak disaat mencium keningku. “Aku sayang Abak...”

Senin, 22 September 2008

Ramadhan Kan Berlalu..

Ramadhan tinggal beberapa hari lagi,
Sudah seberapa banyak kita menabung amal
Sudah seberapa sering kita menahan emosi
Sudah seberapa khusyuk kita melakukan ibadah
Sudah seberapa ikhlas kita melakukan hal-hal kebaikan
Serta sudah seberapa penuh kita men-charge diri kita untuk 11 bulan ke depan
Tuk dapat mencapai kemenangan...di bulan syawal nanti

Ya Allah, Semoga engkau mempertemukan kembali aku di bulan ramadhan yang akan datang...
Banyak hal yang belum bisa ku kerjakan...
Berbuat yang terbaik untuk rang-orang yang ku cintai..